Minggu, 07 Mei 2023

Bagian 2. Pemuda Enggan Bertani, Negara Krisis Regenerasi


Dewasa ini menjadi petani menjadi hal yang enggan anak muda lakukan. Mulai dari alasan karena panas harus berada di sawah atau di kebun lalu harus berani kotor-kotoran juga. Ditambah sudah pakai skincare mahal-mahal lalu harus terjun ke lumpur. Ada saja alasan-alasan sepert itu yang bermunculan. Padahal kerja sales pun atau account officer lebih kerennya juga sama panas-panasan dan terkadang kalau kena hujan di jalan juga kena lumpur hehe. Malahan kalau petani, ada gerimis mereka langsung keluar dari sawah, beda dari pekerjaan lapang lain yang harus tetap jalan meski hujan. “Ya iyalah petani saat gerimis keluar dari sawah, lah nanti kena petir gimana min”. hehe

Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Indonesia pada tahun 2063 atau 42 tahun mendatang tidak memiliki petani jika tren pemuda tidak ingin jadi petani terus berlanjut. Pertanian dalam menjaga ketahanan pangan sangat penting karena berdampak pada tersedianya pangan untuk 267 juta jiwa. Jika tidak ada yang jadi petani, maka kebutuhan pangan Indonesia tidak terpenuhi yang tentunya akan impor. Jika impor terus berlajut dan persediaan pangan dunia terbatas maka harga naik sedangkan pendapatan tidak sesuai dengan pengeluaran maka akan menjadi rantai permasalahan yang saling domino menjatuhkan satu sama lain. Begitu ngeri hal itu terjadi, hanya karena tidak ada penerus petani di masa mendatang.

 

Pembangunan pertanian tidak hanya untuk memenuhi perut masyarakat Indonesia yang berkisar 267 juta jiwa saja akan tetapi juga dapat meningkatkan ekspor pangan untuk kebutuhan negara lain, yang tentunya dengan luasnya pasar ekspor akan meningkatkan kesejahteraan petani Indonesia. Regenerasi petani yang seharusnya tidak hanya asal merekrut sumber daya manusia biasa, yang bercocok tanam secara konvensional tanpa inovasi, teknologi, dan landasan ilmiah tetapi harus SDM yang benar-benar berkualitas dengan bantuan pemerintah yang menyediakan berbagai macam program-program pelatihan dan fasilitas sharing sehingga pemuda pemudi maupun orang tua yang sudah lama berpengalaman saling berbagi pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Jikalau hanya regenerasi petani dari kalangan muda hanya untuk memenuhi data tanpa pelatihan maka pertanian Indonesia akan tetap saja tanpa perkembangan dan membuat produk-produk pertanian yang dihasilkan menjadi tidak bisa bersaing dengan pasar luar.  


Menurut data BPS pada tahun 2019 mencatat jumlah petani mencapai 33,4 juta orang dan hanya 8% yang berusia 20-39 tahun atau setara dengan 2,7 juta pemuda yang terjun di dunia pertanian. Sedangkan sisa 91% adalah tenaga kerja diusia 40 tahun ke atas. Selain hanya berjumlah 8% untuk petani muda, juga terjadi penurunan jumlah petani muda dari tahun 2017-2018 berjumlah 415.789 orang. Enggannya pemuda Indonesia untuk terjun ke dunia pertanian juga didukung dengan jumlah penghasilan yang mereka peroleh jauh lebih dikit daripada bekerja di sektor lain. Selain itu, harga produk pertanian di tangan petani yang tidak pasti, kecilnya lahan yang dikelola karena rata-rata petani Indonesia memiliki 0,55 Ha dan cuaca yang susah diprediksi membuat mereka berpikir itu hanyalah pekerjaan yang berharap peluang bisa bagus atau tidak. Sedangkan pemuda pemudi sekarang sangat menyukai pekerjaan yang hasilnya pasti dan dapat diandalkan. Belum lagi jika hama dan penyakit tanaman menyerang, harga pupuk yang semakin tinggi dan harga hasil pertanian yang tidak stabil sangat mempengaruhi ketidakpastian pendapatan yang mereka peroleh. Menurut data BPS, upah buruh di sektor pertanian pada bulan Agustus 2021 tercatat sebesar Rp1,97 juta per bulan jauh lebih rendah dari sektor lainnya seperti jasa gudang tranportasi yang sudah mencapai Rp. 2,9 juta per bulan. Rendahnya pemuda yang berkontribusi di dunia pertanian selain karena pilihan rendahnya pendapatan, juga karena persaingan antar sektor yang juga membutuhkan tenaga kerja jauh lebih banyak dan tentunya juga memberikan pendapatan yang tinggi daripada pertanian sehingga pilihan menghindari pertanian tidak terelak.

Proporsi tenaga kerja Indonesia yang terjun di dunia pertanian menurut data ASEAN Statistic Division sebesar 29,8% memang tidak serendah Malaysia yang 12,4% dan bukan terendah di ASEAN akan tetapi proporsi tersebut jauh lebih rendah dari Thailand dan Vietnam yang merupakan negara yang berhasil dalam swasembada pangan. Proporsi tenaga kerja pertanian Thailand dan Vietnam sudah mencapai 35% meski masih kalah jauh dengan Myanmar yang mencapai hampir 50% penduduknya berprofesi di bidang pertanian. Besar kecilnya proporsi tenaga kerja pertanian juga harus didukung dengan pengetahuan dan teknologi sehingga meski Thailand dengan proporsi tenaga pekerja 35% dan jumlah penduduk 69 juta dapat mencapai swasembada pangan dan bahkan menjadi ekportir beras terbesar nomor dua di dunia setelah India. SDM unggul untuk regenarasi petani juga sangat dibutuhkan dan perlu disiapkan sejak sekarang agar keberlangsungan pertanian Indonesia tahun 2063 dapat berjalan dengan baik dan bahkan memajukan pertanian Indonesia.

 

Pasti timbul pertanyaan dari kalian semua “Dunia semakin maju, teknologi juga semakin berkembang, seperti halnya dunia industri yang tenaga kerjanya mulai bisa digantikan dengan robot, begitu juga di dunia pertanian juga dapat digantikan jika pemuda nya enggan menjadi petani” . Hal itu tidak semudah seperti yang dipikirkan. Memang telah terdapat penelitian di Jepang, dimana Jepang menggunakan konsep pertanian tanpa lahan dan petani dengan rekayasa teknologi dan sains yang bahkan telah diimplementasikan di 150 daerah Jepang dan UAE dalam membantu mengembalikan fungsi lahan yang terdampak bencana nuklir, tsunami maupun gempa. Akan tetapi jika dibandingkan dengan SDM dan fasilitas Indonesia hal tersebut akan membutuhkan biaya dan pengalaman yang ekstra. Teknologi seperti polimer bening dan berpori tersebut yang dapat menyimpan cairan dan nutrisi serta menghambat bakteri dan virus sehingga tidak memerlukan pestisida dapat digunakan dengan bantuan fasilitas kecerdasan buatan (AI), internet dan pengetahuan tercanggih yang tentu membutuhkan SDM yang kompeten dalam menerapkan teknologi tanpa lahan dan petani tersebut dalam kontrol dan service area .

Pertanian tetap membutuhkan sumber daya manusia terutama yang unggul, berkualitas dan mengerti tentang pertanian. Selain itu, pertanian tidak hanya tentang memenuhi kebutuhan pangan saja, akan tetapi terdapat banyak budaya di dalamnya yang tentu membutuhkan petani tersebut. Seperti budaya-budaya ritual sebelum tanam dan setelah panen yang menjadi kearifan lokal masyarakat Indonesia. Pertanian tidak hanya tentang pendapatan akan tetapi pekerjaan mulia menjaga lumbung pangan negara dan dunia. Regenerasi petani dengan merekrut pemuda dan melakukan pelatihan, serta menstabilkan harga produksi dan hasil pertanian, penggunaan teknologi yang mendukung, bibit-bibit yang unggul, menjaga kesehatan tanah pertanian tentu akan memberikan perubahan yang baik untuk pertanian Indonesia. Pelatihan-pelatihan petani muda dan memperbanyak penyuluh menjadi salah satu solusi kecil dalam membantu menyiapkan regenrasi petani muda.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post First

PEMETAAN C-ORGANIK DAN N SEBAGAI DASAR PENENTUAN ZONA PENGELOLAAN SPESIFIK LOKASI PADA PERKEBUNAN KOPI ORGANIK RAKYAT DI DESA SIDOMULYO KECAMATAN SILO KABUPATEN JEMBER

RINGKASAN   Pemetaan C-Organik dan N sebagai Dasar Penentuan Zona Pengelolaan Spesifik Lokasi pada Perkebunan Kopi Organik Rakyat di Des...

Popular Posts