Andai Kubisa Kembali by Siti Masruroh
if you want buy this book, just klik this :) http://mahirnulis.orderonline.id/plottwistkehidupan3
Andai Kubisa Kembali by Siti Masruroh
if you want buy this book, just klik this :) http://mahirnulis.orderonline.id/plottwistkehidupan3
Lagu lempar kayu jadi tanaman di
Indonesia tidak sepenuhnya benar. Mungkin bisa benar jika ada beberapa faktor
yang dirawat dan diperbaiki dengan teknologi hemat energi terutama pada
tanahnya sehingga bisa menghasilkan suatu tanaman dengan baik tanpa perawatan
ataupun tambahan unsur hara dari luar. Tumbuhan dapat tumbuh subur jika tanah
tempat dia berada tercukupi unsur haranya atau kita bilang tanah yang subur. Sayangnya,
tanah Indonesia tidak seluruhnya subur. Menurut pakar ilmu tanah Prof.
Nurhajati Hakim, 70% tanah di Indonesia adalah tidak subur. Hal ini karena jenis
tanah Indonesia didominasi oleh ultisol dan gambut yang merupakan dua jenis
tanah yang memiliki permasalahan dengan keasaman tanah dan kandungan bahan
organiknya. Memang masih ada peluang 30% yang merupakan tanah subur tapi
sayangnya tanah-tanah ini hanya berada di sekitar daerah yang memiliki gunung
vulkanik seperti di pulau Jawa yang memiliki 45 gunung berapi aktif. Tidak subur bukan berarti tidak bisa ditanami,
dengan sentuhan teknologi seperti pengapuran hal ini dapat diatasi dan dapat
memberikan produksi yang berlimpah jika ditangani dengan baik.
Ultisol adalah tanah yang mengalami pelapukan yang berasal dari sebagian besar bahan induk dari batuan sedimen masam. Menurut Prasetyo dan Suriadikarta (2006), Ultisol di Indonesia mencapai 45.794.000 Ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia. Persebaran ultisol ini meliputi wilayah terluas terdapat di Kalimantan, diikuti Sumatera, Maluku, Papua, Sulawesi, Jawa dan Nusa Tenggara. Permasalahan dari tanah Ultisol adalah memiliki kemasaman tanah yang sangat tinggi (4,1 - 4,8) dan memiliki kelarutan Al, Fe, dan Mn yang relatif tinggi yang dapat mengikat P menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Ultisol yang juga peka terhadap erosi membuat tanah ini miskin unsur hara karena kandungan bahan organiknya hanya ada di lapisan atasnya 8-12 cm yang umumnya rendah hingga sedang dan memiliki C/N rasio yang rendah juga (5-10) yang menjadi cepat terdekomposisi sehingga ketika terjadi erosi dan dekomposisi yang cepat maka bahan organiknya akan mengikis dan bahkan menghilang. Unsur hara yang mudah hilang dan rendahnya menyimpan air di tanah ultisol ini akan membuat tanaman yang tumbuh diatasnya akan susah untuk tumbuh dan berkembang jika tidak ada tambahan treatment dari luar. Akan tetapi keterbatasan tanah ultisol ini dapat teratasi dengan penggunaan teknologi hemat energi dan bahkan beberapa daerah menggunakan tanah ultisol ini untuk berkebun seperti untuk budidaya kelapa sawit, karet dan tanaman tahunan lainnya yang mampu beradaptasi dengan tanah ultisol. Menurut Scholz (1983), introduksi tanaman karet ke Sumatera pada tahun 1910 dan pencetakan sawah beririgasi di daerah kolonisasi Metro di Lampung dapat memperbaiki citra tanah Ultisol. Hal ini dikarenakan tanaman tahunan mampu beradaptasi dengan lingkungan fisik ultisol yang tidak mudah menyerap air serta pembuatan sawah beririgasi bertujuan untuk pengelolaan airnya. Dua kombinasi ini dapat mejadi teknologi hemat energi dalam pemanfaatan tanah ultisol yang optimal. Selain itu menurut Lynch (1983) dan Bezdicek dkk (1984), perlu adanya komponen tambahan lainnya yaitu bioteknologi tanah yang melipatkan aktivitas jasad renik sehingga mampu memperbaiki produktivitas tanah ultisol secara mekanisme biologi.
Gambar 1. Luas Tanah Ultisol di Indonesia. Sumber
dari Prasetyo dan Suriadikarta (2006)
Selain dominasi tanah Ultisol di Indonesia, juga terdapat tanah gambut yang memiliki kemasaman tanah tinggi dan kandungan unsur hara makro dan mikro yang rendah. Luas lahan gambut di Indonesia mencapai 22,5 juta Ha. Bahkan tanah gambut di Indonesia menjadi nomor dua terbesar di dunia setelah Brazil. Menurut BBSDLP (2012), tanah gambut merupakan tanah yang terbentuk dari penumpukan atau akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang sebagian belum melapuk dan memiliki ketebalan 50 cm atau lebih serta memiliki kandungan C-organik sekurang-kurangnya 12% dari berat keringnya. Tanah gambut diklasifikasikan berdasarkan tingkat dekomposisinya, yaitu fibrik (belum melapuk), hemik (setengah melapuk) dan saprik (sudah melapuk). Klasifikasi gambut ini akan mempermudah dalam penanganan dan pemanfaatan secara baik dan terarah karena perlakuan yang salah pada tanah gambut akan membuat biaya produksi mahal dan apabila terlajur rusak untuk pemulihannya sangat besar. Selain itu, gambut juga dibedakan berdasarkan ketebalan gambut, semakin tebal gambut maka semakin tidak bisa digunakan untuk usaha tani pertanian karena semakin miskin unsur hara dan terlalu basah untuk dijadikan lahan sawah.
Gambar 2. Luas Gambut
di Beberapa Provinsi Indonesia. Sumber : katadata.co.id
Tanah gambut di Indonesia dapat ditemui paling besar di Papua. Permasalahan dari tanah gambut adalah cepat terjadi pencucian unsur hara akibat daya penyaluran air secara horizontal yang berjalan cepat sehingga unsur hara cepat mengalir ke saluran drainase. Selain itu gambut juga memiliki daya penyaluran air vertikal yang sangat lambat sehingga lapisan bagian atas tanaman cepat mengalami kekeringan sedangkan lapisan bawahnya basah. Tanah gambut juga memiliki daya tumpu yang rendah sehingga tanaman yang tumbuh di atas tanah gambut cepat sekali tumbang. Kapasitas tukar kation yang lebih tinggi dari kejenuhan basa membuat tanah gambut memiliki pH rendah yang berakibat pada pemberian pupuk ke dalam tanah gambut akan relative susah diserap oleh tanah. Meskipun begitu tanah gambut juga memiliki berbagai manfaat yaitu gambut dapat menyimpan 30% karbon dunia yang dapat mencegah kekeringan dan mencegah air asin di irigasi pertanian. Selain itu, juga rumah bagi beberapa satwa langka seperti bangau hutan rawa dan lutung merah. Pemanfaatan tanah gambut untuk pertanian sangat bisa dilakukan. Gambut yang tipis dapat dimanfaatkan untuk budidaya tanaman pangan seperti padi, jagung dan tanaman hortikultura lainnya seperti yang terjadi di wilayah Kalimantan Barat.
Dominasi 70% Ultisol dan
Gambut di Indonesia tidak membuat sepenuhnya tanah Indonesia tidak dapat
dimanfaatkan dengan maksimal. Masih ada sisa 30% tanah Indonesia yang merupakan
tanah subur salah satunya tanah-tanah yang berada di daerah vulkanik. Jenis
tanah ini tersebar di pulau Jawa, Sumatera, Bali, dan Lombok yang sangat baik
digunakan untuk pertanian dan perkebunan. Menurut Sutedjo (2002), tanah yang
subur adalah tanah yang memiliki profil yang dalam melebihi 150 cm, struktur
gembur, pH netral berkisar 6-6,5, kandungan unsur hara yang cukup tersedia bagi
tanaman dan tidak dapat faktor pembatas dalam tanah untuk pertumbuhan tanaman.
Bahan induk tanah yang subur jika dimanfaatkan salah yaitu dengan penggunaan
pupuk anorganik yang berlebihan maka akan menjadikan tanah tidak subur. Bahan
induk pembentuk tanah juga sangat penting akan tetapi penggunaan juga
mempengaruhi kesehatanan tanah yang akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
Dewasa ini menjadi petani menjadi hal
yang enggan anak muda lakukan. Mulai dari alasan karena panas harus berada di
sawah atau di kebun lalu harus berani kotor-kotoran juga. Ditambah sudah pakai
skincare mahal-mahal lalu harus terjun ke lumpur. Ada saja alasan-alasan sepert
itu yang bermunculan. Padahal kerja sales pun atau account officer lebih kerennya juga sama panas-panasan dan
terkadang kalau kena hujan di jalan juga kena lumpur hehe. Malahan kalau
petani, ada gerimis mereka langsung keluar dari sawah, beda dari pekerjaan
lapang lain yang harus tetap jalan meski hujan. “Ya iyalah petani saat gerimis keluar dari sawah, lah nanti kena petir gimana
min”. hehe
Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Indonesia pada tahun 2063 atau 42 tahun mendatang tidak memiliki petani jika tren pemuda tidak ingin jadi petani terus berlanjut. Pertanian dalam menjaga ketahanan pangan sangat penting karena berdampak pada tersedianya pangan untuk 267 juta jiwa. Jika tidak ada yang jadi petani, maka kebutuhan pangan Indonesia tidak terpenuhi yang tentunya akan impor. Jika impor terus berlajut dan persediaan pangan dunia terbatas maka harga naik sedangkan pendapatan tidak sesuai dengan pengeluaran maka akan menjadi rantai permasalahan yang saling domino menjatuhkan satu sama lain. Begitu ngeri hal itu terjadi, hanya karena tidak ada penerus petani di masa mendatang.
Pembangunan pertanian tidak hanya untuk
memenuhi perut masyarakat Indonesia yang berkisar 267 juta jiwa saja akan
tetapi juga dapat meningkatkan ekspor pangan untuk kebutuhan negara lain, yang
tentunya dengan luasnya pasar ekspor akan meningkatkan kesejahteraan petani
Indonesia. Regenerasi petani yang seharusnya tidak hanya asal merekrut sumber
daya manusia biasa, yang bercocok tanam secara konvensional tanpa inovasi,
teknologi, dan landasan ilmiah tetapi harus SDM yang benar-benar berkualitas
dengan bantuan pemerintah yang menyediakan berbagai macam program-program
pelatihan dan fasilitas sharing sehingga pemuda pemudi maupun orang tua yang
sudah lama berpengalaman saling berbagi pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki. Jikalau hanya regenerasi petani dari kalangan muda hanya untuk
memenuhi data tanpa pelatihan maka pertanian Indonesia akan tetap saja tanpa
perkembangan dan membuat produk-produk pertanian yang dihasilkan menjadi tidak
bisa bersaing dengan pasar luar.
Menurut data BPS pada tahun 2019 mencatat jumlah petani mencapai 33,4 juta orang dan hanya 8% yang berusia 20-39 tahun atau setara dengan 2,7 juta pemuda yang terjun di dunia pertanian. Sedangkan sisa 91% adalah tenaga kerja diusia 40 tahun ke atas. Selain hanya berjumlah 8% untuk petani muda, juga terjadi penurunan jumlah petani muda dari tahun 2017-2018 berjumlah 415.789 orang. Enggannya pemuda Indonesia untuk terjun ke dunia pertanian juga didukung dengan jumlah penghasilan yang mereka peroleh jauh lebih dikit daripada bekerja di sektor lain. Selain itu, harga produk pertanian di tangan petani yang tidak pasti, kecilnya lahan yang dikelola karena rata-rata petani Indonesia memiliki 0,55 Ha dan cuaca yang susah diprediksi membuat mereka berpikir itu hanyalah pekerjaan yang berharap peluang bisa bagus atau tidak. Sedangkan pemuda pemudi sekarang sangat menyukai pekerjaan yang hasilnya pasti dan dapat diandalkan. Belum lagi jika hama dan penyakit tanaman menyerang, harga pupuk yang semakin tinggi dan harga hasil pertanian yang tidak stabil sangat mempengaruhi ketidakpastian pendapatan yang mereka peroleh. Menurut data BPS, upah buruh di sektor pertanian pada bulan Agustus 2021 tercatat sebesar Rp1,97 juta per bulan jauh lebih rendah dari sektor lainnya seperti jasa gudang tranportasi yang sudah mencapai Rp. 2,9 juta per bulan. Rendahnya pemuda yang berkontribusi di dunia pertanian selain karena pilihan rendahnya pendapatan, juga karena persaingan antar sektor yang juga membutuhkan tenaga kerja jauh lebih banyak dan tentunya juga memberikan pendapatan yang tinggi daripada pertanian sehingga pilihan menghindari pertanian tidak terelak.
Proporsi tenaga kerja Indonesia yang
terjun di dunia pertanian menurut data ASEAN Statistic Division sebesar 29,8% memang
tidak serendah Malaysia yang 12,4% dan bukan terendah di ASEAN akan tetapi
proporsi tersebut jauh lebih rendah dari Thailand dan Vietnam yang merupakan
negara yang berhasil dalam swasembada pangan. Proporsi tenaga kerja pertanian
Thailand dan Vietnam sudah mencapai 35% meski masih kalah jauh dengan Myanmar
yang mencapai hampir 50% penduduknya berprofesi di bidang pertanian. Besar
kecilnya proporsi tenaga kerja pertanian juga harus didukung dengan pengetahuan
dan teknologi sehingga meski Thailand dengan proporsi tenaga pekerja 35% dan
jumlah penduduk 69 juta dapat mencapai swasembada pangan dan bahkan menjadi
ekportir beras terbesar nomor dua di dunia setelah India. SDM unggul untuk
regenarasi petani juga sangat dibutuhkan dan perlu disiapkan sejak sekarang
agar keberlangsungan pertanian Indonesia tahun 2063 dapat berjalan dengan baik
dan bahkan memajukan pertanian Indonesia.
Pasti timbul pertanyaan dari kalian semua “Dunia semakin maju, teknologi juga semakin berkembang, seperti halnya dunia industri yang tenaga kerjanya mulai bisa digantikan dengan robot, begitu juga di dunia pertanian juga dapat digantikan jika pemuda nya enggan menjadi petani” . Hal itu tidak semudah seperti yang dipikirkan. Memang telah terdapat penelitian di Jepang, dimana Jepang menggunakan konsep pertanian tanpa lahan dan petani dengan rekayasa teknologi dan sains yang bahkan telah diimplementasikan di 150 daerah Jepang dan UAE dalam membantu mengembalikan fungsi lahan yang terdampak bencana nuklir, tsunami maupun gempa. Akan tetapi jika dibandingkan dengan SDM dan fasilitas Indonesia hal tersebut akan membutuhkan biaya dan pengalaman yang ekstra. Teknologi seperti polimer bening dan berpori tersebut yang dapat menyimpan cairan dan nutrisi serta menghambat bakteri dan virus sehingga tidak memerlukan pestisida dapat digunakan dengan bantuan fasilitas kecerdasan buatan (AI), internet dan pengetahuan tercanggih yang tentu membutuhkan SDM yang kompeten dalam menerapkan teknologi tanpa lahan dan petani tersebut dalam kontrol dan service area .
Pertanian tetap membutuhkan sumber daya
manusia terutama yang unggul, berkualitas dan mengerti tentang pertanian.
Selain itu, pertanian tidak hanya tentang memenuhi kebutuhan pangan saja, akan
tetapi terdapat banyak budaya di dalamnya yang tentu membutuhkan petani
tersebut. Seperti budaya-budaya ritual sebelum tanam dan setelah panen yang
menjadi kearifan lokal masyarakat Indonesia. Pertanian tidak hanya tentang
pendapatan akan tetapi pekerjaan mulia menjaga lumbung pangan negara dan dunia.
Regenerasi petani dengan merekrut pemuda dan melakukan pelatihan, serta
menstabilkan harga produksi dan hasil pertanian, penggunaan teknologi yang
mendukung, bibit-bibit yang unggul, menjaga kesehatan tanah pertanian tentu
akan memberikan perubahan yang baik untuk pertanian Indonesia.
Pelatihan-pelatihan petani muda dan memperbanyak penyuluh menjadi salah satu
solusi kecil dalam membantu menyiapkan regenrasi petani muda.
Pertanian menjadi salah satu sektor yang
memegang peranan penting di negara berkembang termasuk di Indonesia. Sektor
pertanian di Indonesia bahkan menjadi penopang perekonomian negara terbesar
nomor dua setelah pajak. Hal ini dapat dilihat dengan nilai kontribusi sektor
pertanian terhadap PDB Nasional tahun 2021 mencapai 13,28% serta pada tahun
2020 sektor pertanian dapat bertahan dikala COVID-19 melanda dan bahkan dapat
mencatat 16% kontribusi PDB untuk negara. Besarnya sumbangsih pertanian bagi
Indonesia ini membuat pertanian tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan
masyarakat
Tidak hanya menyumbang pendapatan
negara, sektor pertanian Indonesia menurut Badan Pusat Statistik mencatat jumlah
presentase tenaga kerja informal sektor pertanian yang besar yaitu mencapai 88%
pada tahun 2021. Angka yang sangat besar dibandingkan dengan tenaga kerja di
sektor lain. Bahkan di 40% daerah di Indonesia mencapai 90% untuk presentase
tenaga kerja informal sektor pertanian. Salah satu daerah-daerah yang memiliki
kontribusi besar dalam pertanian yaitu Papua yang bahkan mencapai 98%
penduduknya bekerja di sektor pertanian ini.
Dominansi pertanian di Indonesia ini
tidak luput dengan sejarah masalalu nenek moyang yang tidak hanya seorang
pelaut tetapi juga seorang petani. Menurut ahli Bahasa Roberst Blust dalam buku
Masa Lampau Bahasa Indonesia, Sebuah Bunga Rampai (1991), selain memiliki
ikatan dengan kegiatan kelautan, para penutur Bahasa Melayu purba juga
mempraktikkan pertanian berupa hortikultura ladang, padi gogo, dan umbi-umbian.
Jiwa petani yang telah mendarah membuat masyarakat Indonesia tidak akan luput
dengan dunia hijau ini bahkan memunculkan tradisi-tradisi unik di berbagai
daerah yang berhubungan dengan pertanian. Tradisi unik seperti yang dilakukan
orang Suku Osing Kabupaten Banyuwangi yaitu ritual Labu Nyingkal yang digelar
sebelum tanah diolah, Pari Meteng yang digelar saat tanaman hendak keluar buah
dan Ritual Panen yang digelar saat masa memetik padi. Tidak hanya tradisi saat
bercocok tanam, bahkan nenek moyang kita juga menciptakan tarian-tarian yang
berhubungan dengan pertanian seperti Tari Tani dari Demak yang menandakan bahwa
masyarakat Demak sebagian besar berprofesi sebagai petani dan Tari Gandrung
Sewu dari Banyuwangi sebagai wujud syukur petani di masa panen . Antusiasme
yang tinggi nenek moyang akan dunia pertanian membuat kita mengetahui betapa
pentingnya pertanian Indonesia tidak hanya dalam menyumbang pendapatan negara
tetapi juga membangun dalam bidang budaya dan bermasyarakat.
Selain faktor sejarah nenek moyang
Indonesia yang seorang petani, letak geografis yang terletak di garis
khatulistiwa dan iklim tropis membuat Indonesia memiliki sinar matahari yang
melimpah sepanjang tahun yang tentunya sangat berguna bagi pertumbuhan dan
perkembangan tumbuhan. Tak khayal jika sinar matahari yang melimpah ini membuat
suhu hangat di Indonesia yang menjadi tempat terbaik tumbuhan hidup dan membuat
Indonesia dikenal sebagai negara dengan segudang hasil bumi yang berlimpah
ruah. Selain itu, tanah di Indonesia yang beberapa berada di daerah vulkanis
membuat tanah subur dan menghasilkan kualitas dan kuantitas tanaman terbaik
seperti daerah-daerah Jawa yang menjadi penghasil beras terbesar di Indonesia.
Faktor iklim tropis tidak membuat semua
tanah di daerah Indonesia adalah tanah subur. Tanah subur di Indonesia hanya
berada di daerah-daerah vulkanis atau daerah adanya gunung berapi yang
mayoritas berada di tanah jawa. Menurut pakar ilmu tanah Prof. Nurhajati Hakim
70% tanah Indonesia tidak subur karena rata-rata memiliki jenis tanah ultisol
atau merah kuning dan gambut yang memiliki keasaman tingkat tinggi yang tidak
baik untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Akan tetapi, jenis tanah tidak
subur ini bukan berarti tidak dapat dimanfaatkan atau ditanami. Menurut Prof.
Nurhajati Hakim dengan sentuhan teknologi akan dapat menghasilkan yang
berlimpah.
Meskipun 70% tanah Indonesia adalah
tanah tidak subur tidak dapat menurunkan produksi hasil pertanian. Bahkan nilai
ekspor pertanian sepanjang Januari – November 2021 naik 4,1% atau senilai
mencapai US$ 3,83 miliar.
Pentingnya pertanian bagi Indonesia,
membuat kita berpikir apakah sudah cukup usaha kita dalam dunia pertanian ini ?
Sudahkan lebih baik pertanian Indonesia daripada negara tetangga atau negara
berkembang lain ? Tertinggalkah kita ? Mari kita bahas disini.
Menurut Badan Pusat Statistik, lahan
sawah di Indonesia mencapai 8 juta Ha di tahun 2021. Belum lagi dengan lahan
perkebunannya yang mencapai hingga 23 Juta Ha di tahun 2021. Luasnya lahan ini
tidak sebanding dengan luas sawah negara Thailand yang dibawah Indonesia tetapi
mampu memaksimalkan hasil pertaniannya hingga mencapai 50 kali lipat dan
menjadi ekportir beras terbesar nomer dua di dunia dimana menguasai 22% beras
di dunia pada tahun 2018. Meningkatnya pertanian Thailand tidak lepas dari
pemanfaatan teknologi industri pertanian yang canggih dan pola kebijakan
subsidi pemerintah yang lebih tinggi dan efisien sehingga mampu panen 5 kali
dalam setahun. Hal ini seharusnya menjadi cambukan bagi pertanian Indonesia
yang memiliki luas lahan pertanian sangat tinggi daripada Thailand tetapi masih
memiliki angka impor yang lebih tinggi daripada ekspor berasnya.
Dilihat dari segi teknologi, menurut
Bustanul Arifin (2019) seorang Ekonom Institute for Development of Economic and
Finance menilai sektor pertanian saat ini memiliki masalah produktifitas yang
rendah akibat pemanfaatan teknologi yang masih sangat rendah. Digitalisasi
teknologi yang rendah ini dapat dikarenakan kesadaran petani akan teknologi
masih rendah. Menurut Bhima Yudhistira, pengamat Ekonomi Institute for
Development of Economic and Finance, rendahnya tingkat pendidikan dan minimnya
pelatihan penggunaan teknologi modern merupakan faktor utama sektor pertanian
masih bersifat tradisional. Teknologi di sektor pertanian sangat memerlukan
bantuan dari pemerintah seperti pelatihan teknologi terbaru.
Selain teknologi yang belum maksimal
diterapkan di pertanian Indonesia, harga untuk memproduksi beras di Indonesia
tergolong mahal daripada negara Thailand dan Vietnam. Laporan International
Rice Research Institute (IRRI) pada 2016 untuk memproduksi beras di Indonesia
per satu kilogram mencapai Rp. 4.076.- sedangkan biaya produksi di Vietnam
hanya mencapai Rp. 1.679,- per kg dan di Thailand Rp. 2.291,- per kg. Produksi
beras di Indonesia 2,5 kali lipat lebih mahal daripada Thailand dan Vietnam. Menurut
Head of Agriculture Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Aditya Alta
hal ini akan mempersulit Indonesia untuk bisa mencapai swasembada beras.
Lalu, tanggung jawab siapakah ini ?
Hal ini harus menjadi tanggung jawab
bersama antara masyarakat dan pemerintah untuk memajukan pertanian Indonesia.
Masih rendahnya kalangan pemuda-pemudi yang turun di sektor pertanian perlu
lagi ditingkatkan dengan adanya bantauan dan program-program dari pemerintah
maupun swasta yang membuat mereka tertarik akan dunia pertanian sehingga
meningkatkan sumber daya manusia yang lebih luas. Menurut Badan Pusat Statistik
tahun 2021 proporsi pemuda yang bekerja di sektor pertanian hanya sebesar
19,18% dan angkanya telah menurun 10% dibandingkan pada tahun 2011 yang
mencapai 29.18%. Rendahnya penerus generasi pertanian ini akan menjadi masalah besar
di kemudian hari ditambah pertanian adalah penyumbang pendapatan negara
terbesar nomor dua di Indonesia dan menjadi kunci ketahanan pangan negara. Di
Thailand rata-rata umur petani sekarang adalah 51 tahun, akan tetapi pemerintah
Thailand menggencarkan penggunaan teknologi dari tanam, panen hingga pemasaran
sehingga meningkatkan di kalangan tren pemuda.
RINGKASAN Pemetaan C-Organik dan N sebagai Dasar Penentuan Zona Pengelolaan Spesifik Lokasi pada Perkebunan Kopi Organik Rakyat di Des...